Selasa, 13 Desember 2011

ACFTA dan Perikanan Indonesia

Versi printer-friendly Kamis, 05 Mei 2011 | 22:21:30 WITA
Oleh: Andi Baso Tancung (Pemerhati Masalah Perikanan)
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Berbagai upaya dan cara dilakukan oleh masyarakat dan negara untuk memanfaatkannya. Sumber daya alam merupakan modal utama bagi suatu negara untuk kesejahteraan rakyat. Indonesia memiliki luas laut mencapai ribuan kilometer, dengan potensi sumber daya alam yang besar. Potensi yang besar tersebut belum dimanfaatkan optimal, namun di lain pihak harus berhadapan dengan pasar global.
Seiring dengan adanya ACFTA (Asean China Free Trade Agremeent) atau kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China yang sekarang ini sudah mulai berlaku, sehingga produk China seakan menyerang Indonesia dengan berbagai merek, mulai dari kebutuhan yang ringan hingga kepada yang berat-berat. Hal inilah yang patut diwaspadai agar pemerintah harus siap menyambut perdagangan bebas ini, kapan pemerintah tidak siap termasuk produk perikanan, maka jangan heran jika dalam waktu tidak terlalu lama negara ini akan “dipecundangi” dengan berbagai merek produk yang berkulitas dari negara lain.
Jangan kita melakukan perdagangan bebas jika tidak siap menghadapi berbagai “goncangan” dalam negeri, tapi itulah kenyataannya. Sebab penentu kebijakan biasanya hanya menerima masukan tanpa turun lapangan, sehingga apapun yang dilaporkan anak buah pada atasannya, maka oke-oke saja.
China sejak dulu sudah mempersiapkan semua produk, malah melakukan persiapan sejak 10 tahun lalu dan semua produk sudah distandarisasi dan dari lima tahun sudah mempersiapkan untuk mengekspor ke negara-negara Asia sampai Eropa. Ternyata pemerintah Indonesia belum siap untuk menahan laju produk China itu. (Fajar, 24 April 2011)
Industri kecil keok, konsumen tak terlindungi, dan negara tak untung. Itulah yang dialami pengusaha dan masyarakat dalam negeri sejak ACFTA diberlakukan pemerintah RI pada 1 Januari 2011. Sejauh ini, Indonesia telah mengalami defisit perdagangan dengan China. Versi China menyebutkan, defisit RI dalam RRC hanya USD 2,8 juta. Sementara RI mendata telah mengalami defisit USD 7 juta dalam perdagangan dengan China. Ini harus kita sikapi dengan membicarakan ulang kerja sama perdagangan atau mengehentikan untuk sementara waktu. (Fajar 23 April 2011).
 Memang diakui bahwa jika Indonesia tidak siap dengan semua ini, maka jangan coba-coba melakukan perdagangan bebas dengan negeri tirai bambu, sebab negara tersebut sudah lama mempersiapkan diri untuk menjalankan perdagangan tanpa hambatan, tapi kita malah belum siap. Kalau kita melihat bahwa yang siap menghadapi perdagangan bebas dengan China hanya Malaysia dan Thailand. Sedangkan negara lain seperti  Indonesia, Burma, Vietnam, Timur Leste, Filipina, Myanmar dan Brunai belum siap, sehingga wajar jika baru beberapa bulan berjalan sudah mulai ada kesan bahwa negara ini tampaknya sudah “keok” dalam melakukan perdagangan bebas.
Salah satu contoh dari produk perikanan adalah ikan lele dari Malaysia dijual hanya Rp 8.000/kg, sementara lele dari Indonesia harus dijual dengan Rp 11.000/kg baru pembudidaya mendapat keuntungan. Jadi jelas perbedaannya bahwa meskipun negara kita ini kaya akan sumber daya alam, tapi masih kalah bersaing dengan negara lain. Begitu pula, jika kita melihat dari hasil laut yang dikenal sangat banyak dan berlimpah hasilnya, tapi tetap tidak bisa menyaingi negara lain. Malah ikan Indonesia yang dicuri tamu tak diundang itu yang tidak lain dilakukan oleh negara tetangga dan hasil tangkapannya masuk kembali ke Indonesia untuk dijual seperti ikan Tongkol, ikan Kembung, ikan Layang dengan harga yang lumayan mahal. Padahal ikan kita sendiri yang diambil (dicuri), tapi kita tidak mampu berbuat banyak. Walaupun ditahu bahwa belum lama ini patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan Pusat telah menangkap beberapa kapal penangkap ikan yang melanggar aturan. Itulah kenyataan yang ada di lapangan, apalagi melakukan perdagangan bebas yang semuanya sudah bebas masuk di Indonesia tanpa bisa dicegah lagi.
Jika kita melihat bahwa Negara China dikenal sebagai produsen terbesar ikan di dunia dengan produksi 40 juta ton/tahun dan hasil dari budidaya sebanyak kurang lebih  38 juta ton/tahun, bahkan China dikenal sebagai produsen budi daya ikan terbesar di dunia. Contohnya ikan patin dari China masuk ke Indonesia dijual dengan harga Rp 9.000/kg, dari Vietnam Rp 11.000/kg dan Indonesia dijual sebesar Rp 15.000/kg itu baru ada untung. Jadi kalau China sudah memasuki Indonesia dengan produksi perikanannya, maka perikanan Indonesia kemungkinan besar bisa “hancur” dan masyarakat pasti terjepit termasuk para pengusaha yang ada.
Salah satu contohnya adalah ikan-ikan yang dimiliki negara ini masih saja disatroni oleh nelayan asing yang terkesan semakin nekad memasuki perairan Indonesia lantaran tidak perduli dengan aturan atau larangan yang telah dibuat pemerintah atau penegak hukum. Bahkan adanya aturan tersebut sehingga kapal nelayan asing yang ditangkap pihak yang berwenang semakin bertambah, tapi sebaliknya semakin banyak pula nelayan asing yang menyatroni laut Indonesia baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.
Jadi tidak salah jika ikan kita dicuri, tapi kita sendiri yang beli setelah dikirim kembali dari negara lain. Itulah Indonesia yang selalu tidak siap dalam segala hal. Padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan untuk pemberlakuan perdagangan bebas tersebut.
Memang diakui bahwa berdasarkan data yang dimn China produksi perikanannya murah karena selain disubsidi oleh perintah, juga karena China memproduksi sendiri pakan ikan,  sehingga pakannya murah dan budaidayanya berkembang. Beda dengan Indonesia yang harga pakannya sangat mahal bahkan kata orang mencekik leher, sehingga diikuti oleh harga ikannya yang juga cukup mahal. Sebab kapan tidak dijual denhgan harga yang mahal maka tidak ada untungnya.
Akan tetapi, kalau kita simak program pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Pusat yang telah menggenjot sektor budidaya untuk menjadikan tahun 2015 Indonesia sebagai negara terbesar penghasil produk perikanan, maka sangat jauh bedanya dengan Negara China yang selalu memberikan subsidi bagi sektor perikanan, sehingga wajar saja jika dari segala sudut harga produksinya tergolong murah.
Padahal kalau kita lihat dimana ACFTA yang diteken pemerintah pada tahun 2003-2004 lalu diterapkan pada 1 Januari 2010 lalu, tapi pemerintah tidak berbuat apa-apa. Malah terkesan hanya mengurusi dirinya sendiri untuk melakukan berbagi upaya untuk memperkaya diri sendiri. Itulah wajah pemerintahan kita. Wajar saja jika KPK menangkap orang-orang yang dianggapnya melakukan pekerjaan yang korupsi, sehingga ujung-ujungnya masuk buih.
Meski diakui bhawa untuk sementara dampknya pada produks perikanan belum tampak, kecuali beberapa produk tertentu, tapi lambat laun kalau pemerintah tidak segera melakukan antisipiasi yang cepat, maka kemungkinan besar apa yang dikhawatirkan itu akan muncul juga. Jadi mulai sekarang, pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah yang tepat guna mengantsisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Jangan sampai produk perikanan itu menyerang Indonseia dan bangsa ini tetap tidak siap, maka tunggulah kehancuran yang selama ini dibangun dari bawah. Siapa yang patut disalahkan dalam hal ini ?
Kalu kita merujuk pada persetujuan pemberlakuan ACFTA yang diteken pada tahun 2003-2004 lalu itu memungkinkan persiapan yang panjang dan sangat longgar serta cukup untuk melakukan berbagai persiapan guna menyongsong ACFTA berlaku. Tapi kenyataan sekarang sudah tiba saatnya, tapi malah kita yang kedodoran dan tidak bisa berbuat sesuatu kecuali menerima serangan itu. Wajar saja kalau hasil bumi seperti buah-buahan yang masih segar dan harganya tergolong murah dan banyak beredar di pasaran, tentunya masyarakat tinggal pilih itu. Dibanding produk lokal yang harganya mahal dan mutunya sama.
Begitupula dengan produk perikanan yang juga harga jualnya masih tergolong tinggi bila dibandimgkan dengan produksi dari China. Wajar kalau negara tetangga kita Malaysia saja yang menjual ikan lelenya murah dibanding dengan negara kita.
Oleh karena itu, penegasan pemerintah dalam perdagangan bebas ini perlu mendapat perhatian khusus. Jangan sampai ke depan lebih membahayakan produksi dalam negeri baru terjaga dari mimpi-mimpi indahnya mengurusi uang negara yang kerap sebagian masuk kantong. Semoga ACFTA ini menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk berbagai urusan terutama menyangkut perdagangan luar negeri. Semoga !
Sumber: http://www.fajar.co.id/read-20110504222130-acfta-dan-perikanan-indonesia

masalah-masalah dalam perikanan tangkap

DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
     1.1 LATAR BELAKANG
     1.2 TUJUAN

II. ISI
     2.1 KAPAL CHINA DITANGKAP SAAT MELAKUKAN ILLEGAL FISHING
    2.2 HNSI: SURVEI MIGAS RUSAK RUMPON NELAYAN BELAWAN
    2.3 KAPAL PUKAT TERI RESAHKAN NELAYAN DELISERDANG
    2.4 KEBERADAAN SARANA DAN PRASARANA
    2.5 NELAYAN DELISERDANG MINTA BANTUAN ALAT

III. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA


I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
     Indonesia adalah negara yang memiliki produksi perikanan tangkap terbesar ke-4 dunia setelah China, Peru, Amerika Serikat, dan Chile. Akan tetapi dari sisi jumlah, produksi Indonesia masih tergolong kecil. Kecilnya jumlah produksi tangkap dari rata-rata total perikanan tangkap atau baru 5,05 persen itu terkait subsektor yang masih terkendala oleh beberapa permasalahan antara lain ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya Indonesia (SDI) antar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), armada perikanan tangkap nasional yang masih didominasi armada skala kecil. Selain itu terkendala juga belum optimalnya dukungan infrastruktur pelabuhan perikanan baik dari sisi jumlah maupun kelengkapan fasilitas serta rendahnya dukungan lembaga keuangan dan akses nelayan. Karena itu, sejumlah kegiatan pendukung perlu terus digencarkan antara lain pemanfaatan SDI berbasis WPP yang optimal, berimbang, dan lestari atau sesuai visi DKP.
    Langkah itu ditempuh melalui beberapa kegiatan yakni mengoptimalkan pemanfaatan SDI di WPP yang masih "underfishing" (sedikit pemanfaatan untuk perikanan tangkap) dengan pengembangan sarana dan prasarana di wilayah tersebut, mengoptimalkan pemanfaatan potensi SDI di perairan umum daratan (PUD), seperti danau, waduk dan lainnya.
Disamping itu perlunya upaya peningkatan kesadaran seluruh pihak-pihak yang berkepentingan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDI serta mematuhi seluruh peraturan yang berlaku.

1.2 TUJUAN
     Agar dapat mengetahui permasalahan perikanan tangkap di Indonesia, hal-hal yang di butuhkan oleh nelayan dalam meningkatkan hasil tangkapan



II. ISI

2.1 Kapal China Ditangkap Saat Melakukan Illegal Fishing
      Pontianak, 24/6/2009 (Kominfo-Newsroom). Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat (Kalbar) saat melakukan operasi rutin, Sabtu (20/6) berhasil menangkap delapan kapal untuk nelayan China yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Natuna. Petugas juga mengamankan 77 orang anak buah kapal (ABK), sementara dari pemeriksaan, diketahui bahwa muatan ikan di setiap kapal mencapai mencapai antara 30-150 ton. Seluruh kapal tersebut tidak dilengkapi dokumen izin penangkapan di wilayah ZTE Indonesia, kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan dan Pengendalian Sumber daya Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso di Pontianak, Selasa (23/6) (Depkominfo 2009).
      Lokasi penangkapan itu berada di lima derajat lintang selatan dan 109 derajat bujur timur di perairan Natuna, dan saat ini terdapat sekitar 30 kapal China melakukan aktivitas. Jadi betapa sulitnya kapal kita menanggulangi mereka semua, kita hanya sanggup menangkap 8 kapal, dan itu sudah syukur, khusus 77 ABK telah diamankan dan kini ditempatkan di tempat penampungan sementara, katanya. (Depkominfo 2009)
Akibat illegal fishing yang dilakukan para nelayan China tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian sekitar Rp24 miliar (Depkominfo 2009)

2.2 HNSI: Survei Migas Rusak Rumpon Nelayan Belawan
     Medan, (ANTARA) – Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Medan menuding aktivitas survei minyak dan gas CV Cerika di perairan Belawan sebagai penyebab rusaknya sejumlah rumpon milik nelayan setempat. “Berdasarkan laporan nelayan, ada ratusan titik lokasi rumpon yang rusak akibat kegiatan survei migas (minyak dan gas) yang dilakukan CV Cerika,” kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Medan Zulfahri Siagian kepada ANTARA di Belawan Medan, Minggu (Depkominfo 2010).
Kerusakan rumpon tersebut menyebabkan volume hasil tangkapan nelayan tradisional di sekitar pesisir utara Kota Medan itu merosot tajam. Masalah pengrusakan rumpon nelayan Belawan itu telah dilaporkan HNSI Medan kepada instansi pemerintah terkait di antaranya kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan. Namun, pengaduan HNSI Medan tersebut hingga kini belum ditindaklanjuti pemerintah (Depkominfo 2010).
     Dia menegaskan, survei migas yang berdampak terhadap kerusakan sejumlah rumpon jangan sampai menyebabkan ekonomi nelayan tradisional semakin terpuruk. “Pihak yang melakukan survei dan instansi pemerintah pemberi izin survei harus bertanggung jawab terhadap kerusakan rumpon-rumpon nelayan,” ucapnya. Bentuk tanggung jawab itu, kata dia, harus direalisasikan dengan mengganti total kerugian sejumlah nelayan yang selama ini telah bersusah payah mengumpulkan biaya untuk memasang rumpon di perairan Belawan. Tanpa merinci total kerugian nelayan akibat kasus pengrusakan rumpon itu, Zulfahri mengatakan, rumpon-rumpon itu sengaja dipasang nelayan Belawan untuk memudahkan dalam memperoleh ikan (Depkominfo 2010).
     Salah satu alat bantu penangkapan ikan yang telah dikenal masyarakat nelayan sebagai alat pemikat ikan ini terdiri dari beberapa komponen di antaranya rakit, tali rumpon dan jangkar. Sejak rumpon-rumpon yang berlokasi di sekitar 40 mil dari garis pantai Belawan rusak, kata dia, hasil tangkapan nelayan setempat semakin merosot dan jika ingin mendapatkan ikan dalam volume relatif banyak mereka harus mengeluarkan biaya operasional yang cukup besar. “Karena itu, kerusakan sejumlah rumpon di perairan Belawan menjadi salah satu faktor penyebab terbatasnya pasokan ikan ke Kota Medan. Kalau pun sewaktu-waktu pasokan ikan lancar, harganya cenderung tinggi,” ujar Zulfahri (Depkominfo 2010).

2.3 Kapal Pukat Teri Resahkan Nelayan Deliserdang
      Medan, 23/7 (ANTARA) – Puluhan kapal ikan yang menggunakan alat tangkap sejenis pukat teri yang beroperasi di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dilaporkan telah meresahkan nelayan tradisional di daerah itu. Sekretaris DPD Himpunam Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumut Ihya Ulumuddin di Medan, Jumat, mengatakan kapal-kapal tersebut beroperasi ke wilayah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional yang tidak berapa jauh dari pinggir pantai. Oleh karena itu, katanya, nelayan kecil tersebut merasa keberatan dengan kehadiran alat tangkap yang menggunakan peralatan canggih tersebut. “Nelayan kecil di Pantai Labu resah dengan kapal yang mengoperasikan alat tangkap itu. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi Pemkab Deli Serdang, petugas keamanan di laut, Dinas Perikanan dan Kelauatan dan instansi terkait,” katanya (Depkominfo 2010).
      Para nelayan tradisional di daerah itu, sudah beberapa kali melaporkan permasalahan tersebut kepada pemerintah daerah setempat mengenai kapal pukat teri menjaring ikan tidak begitu jauh dari pantai. Pemerintah juga diminta dapat menanggapi pengaduan nelayan kecil itu, untuk menjaga hal-hal yang tidak diingini terjadi di kemudian hari. “Kita tidak ingin nelayan tersebut bertindak anarkis terhadap kapal pukat teri, cara-cara yang demikian harus dapat dihindari,” ujarnya (Depkominfo 2010).
      Nelayan tradisional berharap kapal ikan teri yang menangkap ikan harus di tengah laut dan jangan mengganggu daerah tangkapan nelayan kecil. Bahkan, katanya, dengan kehadiran kapal pukat teri itu, hasil tangkapan nelayan kecil semakin berkurang yang biasanya mampu mendapat ikan 40-45 kg per hari, namun saat ini hanya sekitar 25 kg per hari. “Pendapatan nelayan kecil semakin jatuh merosot,” tambahnya. Ketika ditanya cara beroperasinya kapal pukat teri itu, Ulumuddin mengatakan, alat tangkap tersebut ada yang ditarik oleh dua kapal. Biasanya nelayan itu beroperasinya pada malam, sehingga tidak diketahui nelayan kecil. “Kehidupan nelayan kecil di Pantai Labu akkhir-akhir ini semakin sulit akibat kehadiran kapal pukat teri.Pemerintah perlu mencari solusi untuk menyelesaikan masalah nelayan tersebut,” kata Ulumuddin. Belum lama ini kapal pukat teri itu ada yang diamankan oleh nelayan tradisional di perairan Langkat (Depkominfo 2010).

2.4 Keberadaan Sarana Dan Prasarana
     Keberadaan sarana dan prasarana perikanan tangkap di wilayah pesisir sangat mendukung keberhasilan dan kelangsungan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan di laut. Sarana dan prasarana perikanan tangkap di Kabupaten Pasaman Barat sampai saat ini belum mampu mendukung kegiatan yang dilakukan oleh para nelayan. Salah satu penyebab kurangnya sarana dan prasarana ini adalah karena masih kurangnya perhatian pihak terkait untuk membangun kawasan pesisir disamping kurangnya kemampuan masyarakat pesisir itu sendiri untuk membangun sarana dan prasarana yang diperlukan (Depkominfo 2010).
     Sebagian besar daerah nelayan memiliki sarana dan prasarana jalan yang belum memadai, sehingga daerah nelayan jarang dikunjungi oleh pihak terkait akibatnya daerah ini luput dari perhatian dan program-program pembangunan untuk pengembangan kawasan pesisir. Sarana dan prasarana yang ada saat ini baru berupa dua unit pelabuhan perikanan yang terdapat di Sasak dan Air Bangis. Pelabuhan perikanan Sasak tidak dapat difungsikan karena adanya permasalahan tanah, pendangkalan di kolam pelabuhan dan pengaruh abrasi tanah. Kedua pelabuhan itupun belum dilengkapi sarana penunjang lainnya seperti pabrik es, SPDN, Cold Storage dan lainnya (Depkominfo 2010).

2.5 Nelayan Deliserdang Minta Bantuan Alat
      Medan, 18/5 (ANTARA) – Puluhan nelayan di Desa Hamparan Perak, Desa Sei Baru dan Desa Lama, Kabupaten Deli Serdang minta bantuan infrastruktur dan alat tangkap ikan dan pengolahannya kepada Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin. Permintaan itu disampaikan langsung dalam dialog seratusan nelayan dengan Syamsul Arifin yang dilaksanakan di Siba Island, Belawan, Selasa. Muhammad Yakub, nelayan asal Desa Hamparan Perak mengatakan, di desanya terdapat sekitar 200 kepala keluarga yang berprofesi sebagai penangkap ikan di laut itu. Namun, meski mendapatkan ikan dalam jumlah yang lumayan banyak tetapi mereka kesulitan untuk memasarkan hasil tangkapnya karena tidak memiliki dermaga dan tempat pelelangan ikan (TPI). Akibatnya, kata Yakub, hampir seluruh nelayan di desa itu tidak memiliki lokasi untuk menyandarkan sampannya kecuali di pinggiran-pinggiran sungai (Depkominfo 2010).
      Pengakuan serupa juga disampaikan Muhammad Yusuf, nelayan asal Desa Sei Baru yang mengungkapkan “kecemburuannya” dengan nelayan di daerah lain. Tidak adanya dermaga dan TPI itu menyebabkan sebagian besar nelayan menjual hasil tangkapannya kepada tengkulak yang menawarkan harga yang jauh dari kewajaran. Akibatnya, kata Yusuf, hampir setiap tahun masyarakat nelayan di Desa Sei Baru selalu mengalami kesulitan karena jarang mendapatkan manfaat dari ikan yang ditangkap. Kondisi itu, kata dia, berbeda dengan nelayan-nelayan di Belawan yang memiliki dermaga dan TPI untuk menambatkan sampan dan melelang ikan hasil tangkapannya. Dengan ketersediaan dermaga dan TPI itu, nelayan-nelayan Belawan mendapatkan hasil yang mencukupi karena ikan tangkapannya tidak dijual kepada tengkulak. Siti Aminah, ibu rumah tangga yang membudidayakan ikan menjadi ikan asin di Desa Lama mengharapkan Pemprov Sumut dapat membantu alat pengolahan ikan (Depkominfo 2010).
      Selama ini, kata Siti Aminah, pengolahan ikan yang dilakukan masyarakat Desa Lama masih sangat tradisional sehingga belum memberikan hasil maksimal dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga nelayan. Gubernur Sumut Syamsul Arifin mengatakan, pihaknya akan mengoordinasikan permintaan masyarakat itu dengan Pemkab Deli Serdang. Gubernur mengatakan, sesuai dengan ketentuan otonomi daerah, Pemprov Sumut tidak dapat mengatasi hal itu secara langsung sebelum berkoordinasi dengan Pemkab Deli Serdang (Depkominfo 2010).
      Namun berdasarkan kebijakan secara umum, pihaknya telah menerapkan beberapa upaya untuk memberikan bantuan kepada nelayan dalam upaya meningkatkan hasil tangkapnya. Salah satu upaya itu adalah minta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad agar menghibahkan kapal-kapal nelayan Thailand yang berhasil ditangkap kepada nelayan. “Secara prinsip, menteri telah setuju. Kita tunggu saja prosesnya,” kata gubernur (Depkominfo 2010).

III. KESIMPULAN
      Mahasiswa dapat mengetahui permasalahan perikanan di Indonesia melalui sumber dari internet dan dapat mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh nelayan seperti es, kelembagaan dan sebagainya.




DAFTAR PUSTAKA

Depkominfo.2009.(terhubung berkala).http://kabar.in2009indonesia headlinerilis berita depkominfo06248 kapal china ditangkap saat melakukan illegal fishing.html (1 Desember 2010)
Depkominfo.2010.(terhubung berkala).http://kabar.in2010sumatrasumatera bagian utara0518hnsi survei migas rusak rumpon nelayan belawan.html (1 Desember 2010)
Depkominfo.2010.(terhubung berkala).http://kabar.in2010sumatrasumatera bagian utara0723kapal pukat teri resahkan nelayan deliserdang.html
(1 Desember 2010)
Depkominfo.2010.(terhubung berkala).http://kabar.in2010sumatrasumatera bagian utara0809keberadaan sarana dan prasarana.html
(1 Desember 2010)
Depkominfo.20101.(terhubung berkala).http://www.pasbarkab.go.id/nelayan deliserdang minta bantuan alat.html (1 Desember 2010)